___Dini hari itu, pelataran masjid telah dipenuhi manusia dari segala penjuru. Udara dingin negeri tandus ini seolah menusuk hingga ke tulang, membuat setiap tarikan napas terasa berat. Hidungku perih oleh hembusan angin, namun tetap bertahan di pelataran Tsakifah Bani Sa’idah. Dalam sunyi yang menggema, kami mendengarkan halaqoh pagi dari Ustadz Salim A Fillah.
Beliau mengisahkan jejak Nabi di negeri Madinah, tentang kehangatan hati orang-orang Anshar yang begitu pemurah. Saya mencatat perlahan, berusaha menangkap setiap hikmah yang disampaikan. Hingga tiba pada satu kisah, kisah yang membuat hatiku tak mampu berkedip dari keindahannya kisah cinta dan adab Rasulullah.
Ustadz bercerita tentang momen ketika Aisyah berkata bahwa kulit Rasul bersentuhan dengan kulitnya. Dalam kelembutan yang tak terlukiskan, Rasul pun berkata, “Dinda, bolehkah malam ini aku beribadah pada Rabbku?” Betapa dalam cinta itu, hingga Aisyah menjawab dengan hati yang penuh pengertian, “Aku senang jika engkau bersamaku, tetapi aku lebih senang jika engkau bersama Rabbmu.”
Kata-kata itu menghujam lembut ke dalam hatiku. MasyaAllah, cinta seperti ini bukan hanya tentang rasa, tetapi tentang ridha Allah yang menjadi pusatnya. Ustadz melanjutkan, mengingatkan bahwa lelaki yang kehidupannya dijamin oleh Allah di dunia dan akhirat adalah mereka yang memiliki adab yang mulia terhadap istri dan anak-anaknya. Begitu pula sebaliknya.
Dinginnya pagi itu seakan lenyap, tergantikan kehangatan dari cerita Rasulullah. Kisah ini mengajarkanku bahwa cinta sejati adalah yang menghantarkan kita lebih dekat kepada Allah. Menyatukan cinta dan penghambaan dalam harmoni yang sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar