Rabu, 29 Oktober 2025

Dan Negara yang baik dimulai dari manusia unggul berkualitas.

Dan Negara yang baik dimulai dari manusia unggul berkualitas.

Kualitas manusia dimulai dari keluarga yang sehat mental.

Keluarga yang sehat mental dimulai dari individu yang sudah selesai dengan dirinya. 

Individu yang sudah selesai dengan dirinya dimulai dari 7 tahun pertamanya.. 

Dilahirkan penuh harap, dirawat penuh cinta, dan dibimbing dengan penuh perhatian.

itulah dasar dari individu yang kokoh. Di tujuh tahun pertama, anak-anak belajar tentang rasa aman, kasih sayang, dan kepercayaan. Pengalaman-pengalaman ini membentuk cara mereka memandang diri sendiri dan dunia.

Anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh cinta dan penerimaan akan lebih mudah menyelesaikan pergolakan batin di dalam dirinya, karena mereka sudah terbiasa merasa dihargai dan didengar.

Individu yang sehat secara mental sejak awal kehidupan akan memiliki kekuatan untuk berkontribusi pada keluarga yang harmonis. Keluarga yang sehat mental akan melahirkan generasi yang siap membangun bangsa yang lebih baik. Dengan kata lain, bangsa yang kuat dan berdaya saing dimulai dari individu yang terbangun sejak kecil dengan kasih sayang, perhatian, dan fondasi yang sehat.

Kalau sekarang negara belum seperti itu... mari kita berjuang bersama mengisi tengki cinta anak-anak kita. 


 ----Rima Rumata---












Selasa, 21 Oktober 2025

Mengenal Diri

Siang itu, temanku mendapat giliran bagi cerita kesehatan mental untuk perempuan dalam pandangan Islam, dengan tema sederhana “Mengenal Diri.” Yang justru mengungkap pertanyaan mendalam.

Mengapa banyak perempuan setelah menikah merasa kehilangan dirinya?

Lalu kembali belajar tentang mengenal diri, mencintai diri dan menghargai diri . 

Hal-hal yang seharusnya menjadi fondasi sebelum berbagi hidup dengan orang lain.

Apakah sebelum menikah kita sudah benar-benar mengenal diri sendiri?

Atau selama ini, kita hanya mengenal versi diri yang ingin diterima oleh orang lain?

Apakah kita mencintai diri karena sungguh menerima diri apa adanya, atau karena ingin dianggap cukup oleh orang lain?

Mungkin kehilangan itu bukan karena pernikahan,

tapi karena sejak awal kita memang belum benar-benar mengenal diri sendiri.

Dan mungkin, pernikahan adalah cara Allah mengajak kita pulang untuk menemukan diri sejati.

Tanda seseorang mengenal diri adalah saat ia mulai melihat makna dirinya di mata Allah, bukan di mata manusia.


Laa haulaa walaa quwwata illaa billah.


✍️ Rima Rumata

#familyjourney #storyteller #stifingenetikfakfak #stifingenetic #Pengingatdiri #bagicerita




Mengenal Diri = Mengisi Gelas Jiwa

Awalnya, mengenal diri memang fondasi. Tapi fondasi bukan berarti selesai — ia baru seperti gelas kosong yang siap diisi. Setelah menikah, menjadi ibu, kita sedang mengisi gelas-gelas baru dalam perjalanan hidup. 

Jadi bukan berarti kita tidak perlu belajar mengenal diri lagi, tapi justru kita mengenal diri di lapisan yang lebih dalam.

Setiap fase hidup membuka lapisan baru dari pertanyaan besar “siapa saya sebenarnya”. Kegalauan - kagalauan yang sebaiknya kita cari jawabannya. 

Saat lajang, kita belajar mengisi gelas personal — mengenali isi dan kebutuhan jiwa sendiri.

Saat menikah, kita mulai mengisi gelas relasional — belajar bagaimana dua gelas saling menuangkan dan menampung tanpa tumpah.

Saat menjadi ibu, kita menjalani gelas pengasuhan — bagaimana dari gelas kita mengalir kasih dan makna yang menumbuhkan kehidupan lain.

Dan ketika anak-anak mulai mandiri, tibalah saatnya gelas universal — saat isi gelas kita, ingin mengalir untuk manusia dan untuk Allah. Dari bekal fitrah, bakat, dan pengalaman hidup.

Maka, mengenal diri bukan sekadar tahu siapa kita, tapi menjaga agar gelas jiwa terus terisi dan tidak bocor. Karena gelas itu ibarat bola kaca bening di dalam hati — zaujajah, tempat cahaya Allah bersemayam. Ia akan memantulkan cahaya yang menerangi hidup. (Q.S. 24:35)

Jangan sampai di usia senja nanti, kita baru sadar bahwa selama ini kita mengisi gelas-gelas yang ternyata bocor.


Laa haula wa laa quwwata illa billah.


✍️ Rima Rumata

#familyjourney #storyteller #stifingenetikfakfak #stifingenetic #PengingatDiri #Bagicerita










Dosen di Kelas Diplomasi

Saya masih mengingat hari itu.

Seorang dosen muda masuk ke kelas kami. Beliau belum sempat menulis apa pun di papan tulis, belum juga membuka buku, tapi langsung memulai dengan kalimat yang tak biasa. 

Dengan nada tenang beliau berkata,

“Seseorang yang berdiri di hadapan kalian ini bukan hanya membawa spidol dan lembaran tugas, tapi juga lembaran-lembaran yang tak terlihat. Catatan tentang keluarga, tentang anak, tentang diri sendiri yang juga belum selesai.

Saya tidak meminta kalian untuk memaklumi saya. Tapi jangan berekspektasi terlalu tinggi pada saya". 

Rasanya beliau sedang berdiplomasi di kelas diplomasi. Seorang dosen muda yang sedang belajar “menjadi dewasa di ruang publik”. Beliau sedang melatih diplomasi emosional. Mencoba menyeimbangkan antara perannya sebagai pengajar dan realitas batin yang ia bawa.

Yang saya tangkap dari kalimat dosenku itu :  “Saya bukan sumber ilmu, hanya saluran kecil yang berusaha tetap jernih agar makna bisa mengalir.

Dan sebelum ilmu ini mengisi kalian, izinkan saya terlebih dahulu membersihkan wadahnya. 

Kalimat sarat kerendahan hati yang tinggi, sekaligus kesadaran spiritual seorang pendidik. 


Baarakallahufiikum Pak. 


✍️ Rima Rumata

#familyjourney #storyteller #stifingenetikfakfak #stifingenetic #Pengingatdiri #bagicerita



Belajar = Mengisi Jiwa.

 Hari ini, berita tentang dunia pendidikan membuat dada sesak.

Seorang siswa SMP ditampar karena merokok. 

Seorang mahasiswa di Bali memilih mengakhiri hidup karena diejek.

Seorang kepala sekolah tahfiz menodai kehormatan anak didiknya.

Tiga peristiwa yang tampak berbeda, tapi sesungguhnya bersumber dari akar yang sama: Dunia pendidikan, dunia belajar.

Maka pertanyaannya bukan lagi, “Berapa lama kita belajar di sekolah?”

Tapi, “Apakah selama ini kita benar-benar belajar?”

Seperti perintah pertama Allah kepada manusia "Iqro" Belajarlah. Yang hari ini, pendidikan “Iqra’' disalahpahami menjadi sekedar mengejar gelar.

Padahal posisi belajar dalam islam seperti ibadah sholat, yang hanya boleh berhenti ketika manusia meninggal.

Bukan sekadar proses menambah pengetahuan, tapi proses menyadarkan jiwa. Belajar membuka mata hati untuk mengenal Allah melalui segala ciptaan-Nya. Manusia, peristiwa, bahkan luka adalah pelajaran yang perlu dibaca.

Bacalah dirimu.

Bacalah orang lain.

Bacalah makna di balik setiap ujian.

Belajar dalam islam adalah mengisi jiwa dengan makna. 

- Orang tua yang jiwanya terisi akan ingin memperbaiki diri karena merasa kurang ilmu jadi orangtua. 

- Anak yang jiwanya terisi tidak mencari pengakuan lewat hal-hal yang merusak dirinya

- Guru yang jiwanya terisi tidak akan menampar murid yang hilang arah.

-Teman yang jiwanya terisi tidak akan menertawakan luka orang lain.

- Pendidik yang jiwanya terisi tidak akan melakukan hal rendah pada siswanya.


(Refleksi Belajar di kelas : Hakikat Anak Dalam Islam Oleh Ibu Maya Sukma Kiat )


✍️ Rima Rumata

#familyjourney #storyteller #stifingenetikfakfak #stifingenetic #Pengingatdiri #bagicerita






Jadi Orangtua = Jadi Sekolah Jiwa

 Kalau ada sekolah dengan jurusan “Orangtua”, semua yang mau menikah harus sekolah dulu sebelum jadi orangtua.

Tapi plot twist-nya: menjadi orangtua tidak pernah ada sekolahnya. 

Kita semua “terdaftar” di jurusan yang tidak punya ruang kelas, tidak ada ujian akhir, tapi tugasnya seumur hidup.

Maka, kenapa jadi orangtua tidak ada sekolahnya?

Karena setiap anak adalah perpustakaan langit dari Allah. Setiap tantangan dalam mengasuh anak sebenarnya adalah materi pelajaran jiwa. 

Inilah yang disebut Sekolah Jiwa. Sekolah yang dirancang langsung oleh Allah tanpa kurikulum buatan manusia. Di sanalah Allah menulis perjalanan pulang kepada-Nya.

Maka, menjadi orangtua bukan tentang kita dengan anak, tapi tentang kita dengan Allah. Dan kalau orangtua tidak kembali kepada Allah, generasi setelahnya akan terus kehilangan arah.


Laa haulaa walaa quwwata illaa billah.


(Refleksi Belajar di kelas : Hakikat Anak Dalam Islam Oleh Ibu Maya Sukma Kiat )


✍️ Rima Rumata

#familyjourney #storyteller #stifingenetikfakfak #stifingenetic #Pengingatdiri #bagicerita





Kamis, 09 Oktober 2025

POV Pengantin Baru vs Pengantin Lama

Menghadiri undangan pernikahan bisa terasa seperti "reclass". Pengantin lama bisa belajar lagi merasakan momen pertama kali bersanding di pelaminan. Malu-malu bahagia, senyum yang tak berhenti. Kebahagiaan itu bisa menjadi obat bagi perjalanan pernikahan yang mungkin sedang hambar.

Sementara itu, pengantin baru bisa belajar dari pengantin lama bahwa bahagia dalam pernikahan bukan sekadar euforia awal. Ia baru saja membuka kelas pembelajaran tingkat lanjutan.

Pengantin baru seperti murid baru yang penuh antusiasme dan rasa ingin tahu. Pengantin lama seperti alumni yang kembali mengikuti workshop, menyegarkan kembali pelajaran lama dan menyadari bahwa belajar dalam pernikahan itu tidak pernah berhenti.

Selamat Merayakan Cinta Adik Berdua Mia dan Amat Rumbaru sampai Jannah.. Aamin.


✍️ Rima Rumata

#familyjourney #storyteller #stifingenetikfakfak #stifingenetic #Pengingatdiri #bagicerita






Senin, 06 Oktober 2025

Flashlight (baca:cahaya) – Ibu – Self Respect.

Semua ibu merasakan itu, Malam-malam panjang sering datang tanpa permisi. Bayi terbangun, ibu pun ikut terjaga. Saya mencari cara menghibur diri ketika mulai bosan, Jiwa artisku muncul, membuka laptop, memutar pelan lagu Flashlight Jessie J, lalu ikut bernyanyi... “I’m stuck in the dark, but you’re my flashlight…” kamar berubah jadi panggung konser. Bayiku penontonnya dan saya penyanyinya.. 

...Tapi lirik itu seperti sedang bicara padaku. Betapa seorang ibu bisa merasa terjebak dalam "gelap". Gelapnya rasa capek, minder, atau kehilangan arah. Saya pun merasa begitu: “gelap” ketika melihat orang lain dengan karier cemerlang, sementara saya sibuk dengan popok dan ASI di malam gelap. Namun menyadari bahwa, ada cahaya kecil yang menuntun. Cahaya itu tidak selalu berupa sorotan dunia. Ia hadir dalam bentuk sederhana yaitu bayi kecil yang menatap dengan mata polosnya itu "sweet life" kata Jessie J. Saya terpukau. 

Di titik inilah saya bersyukur pernah ikut kelas self respect bersama Mba Maya Sukma Kiat. Saya punya makna baru jadi Ibu. Sebab, kalau saya memandang diri hanya sebagai “mesin menyusui”, semuanya terasa berat. Padahal, menyusui itu bukan sekadar soal lapar dan haus. Dalam pelukan, kehadiran, dan tatapan, bayi sedang belajar pelajaran pertamanya sebagai manusia baru: bahwa dirinya layak ditunggu, layak dipeluk, dan layak ditemani. Itulah pelajaran “Keberhargaan Diri”.

Dan inilah mengapa keberhargaan diri itu penting. Anak yang sejak awal merasa tidak berharga akan tumbuh rapuh: tak bisa membela diri saat dibully, mudah terseret lingkaran KDRT, aborsi, bahkan bundir, karena ia kehilangan rasa berharga di awal kehidupannya. 

Maka, malam panjang akhirnya mengajarkan saya. Bagi seorang ibu, flashlight itu sering kali adalah anaknya—anaklah yang  membuat gelap terasa punya cahaya. Tapi, bagi anak flashlight itu justru ibunya. Dari ibulah ia belajar terang pertamanya, entah itu cahaya yang menguatkan atau justru meredupkan.


✍️ Rima Rumata

#akademitrainerofficial #GerakanKontenBaik #SpeakToChange #GrowAndContribute #familyjourney #storyteller #stifingenetikfakfak #stifingenetic #Pengingatdiri






Bertumbuh bagi perempuan

Dulu saya pikir, bertumbuh itu soal prestasi di profesi. Semakin tinggi jabatan, semakin banyak pencapaian, berarti semakin bertumbuh. Ternyata, dalam rumah tangga pun menghadirkan ruang pertumbuhan yang sama. 

Baik dalam profesi maupun rumah tangga sama-sama menuntut kedewasaan diri. Karena tanpa disiplin, tanggung jawab, dan kemampuan mengelola ego, keduanya akan mudah goyah. 

Sebagai perempuan, saya belajar bahwa inti dari semua itu adalah "self respect". Rasa hormat pada diri sendiri yang tumbuh dari kesadaran bahwa Allah sudah menitipkan potensi dalam diri kita. Saat melangkah dengan energi terima kasih, setiap peran terasa ringan meski melelahkan. Tapi jika melangkah dengan energi pembuktian atau ketakutan, ingin menunjukkan bahwa saya bisa, takut tidak dihargai, atau takut ditinggalkan. Dari luar mungkin terlihat kuat, tapi di dalam hati terasa kosong. 

Maka, bertumbuh itu bukan soal perannya, tapi soal kualitas diri terasah atau tidak. Kualitas diri adalah fondasi untuk hidup penuh makna, kebermanfaatan. Bisa lebih tenang menghadapi tantangan, tidak mudah kehilangan arah hanya karena penilaian orang lain, tekanan lingkungan, atau standar pencapaian yang sedang tren. 


Setuju kan? 


✍️ Rima Rumata

#akademitrainerofficial #GerakanKontenBaik #SpeakToChange #GrowAndContribute #familyjourney #storyteller #stifingenetikfakfak #stifingenetic #Pengingatdiri




Level Emosi Ibu = Citra Diri Anak

Suatu siang, anak toddlerku menatapku dengan mata polos setelah hampir setiap hari melihatku di kamar, menemani adiknya yang masih bayi. Ia bertanya: “Kenapa Nina kerjanya di kamar dan tidur terus?”

Ia belum mengerti bahwa di balik itu ada bayi mungil yang harus digendong, diasi dan ditidurkan yang akhirnya, ibunya ikut tertidur deh… hiihi. Baginya, yang terlihat hanyalah ibunya yang “berbeda” dengan ibu teman-temannya yang bekerja di luar rumah.

Dari pertanyaan polos itu, saya belajar satu hal penting: level emosi seorang ibu sangat memengaruhi citra diri anak. Anak membandingkan ibunya dengan ibu lain, dan persepsi itu membentuk bagaimana ia menilai dirinya.

Ibu adalah sekolah pertama, dan pelajaran pertama bagi manusia baru adalah keberhargaan diri. Baik ibu rumah tangga maupun ibu bekerja, sama-sama bisa terjebak pada level emosi rendah ketika peran dijalani bukan dari pilihan sadar, tapi karena terpaksa atau ingin membuktikan sesuatu. Ibu di rumah yang merasa tidak berguna bisa membuat anak merasa minder. Ibu bekerja yang selalu merasa harus membuktikan diri, juga membuat anak belajar bahwa mereka harus terus berusaha supaya dianggap cukup.

Jadi, level emosi ibu bukan sekadar soal suasana hati sehari-hari itu adalah cermin pertama yang membentuk citra diri anak dan keberhargaan dirinya sepanjang hidup.


✍️ Rima Rumata

#akademitrainerofficial #GerakanKontenBaik #SpeakToChange #GrowAndContribute #familyjourney #storyteller #stifingenetikfakfak #stifingenetic #Pengingatdiri





Paradoks Perempuan.

Saya menyebut perempuan, karena sebelum ia menjadi seorang ibu, ia terlebih dahulu adalah seorang perempuan dengan perjalanan hidupnya sendiri. 

Kita sering membaca berita memilukan:

• Ada perempuan muda yang membuang bayinya sesaat setelah melahirkan.

• Ada yang mengakhiri hidup bersama anak-anaknya karena suami tak bertanggung jawab.

• Ada pula yang menghantam anaknya karena jengkel pada suami. 


Inilah paradoks perempuan. Allah lebihkan ia dalam perasaan. Perasaan bisa jadi sumber kekuatan, tapi juga bisa berubah jadi kelemahan.

Ketika hati perempuan terluka, ia bisa kehilangan kebijaksanaan. Energi yang seharusnya mengasuh justru berubah menjadi luka bagi orang lain. 

David Hawkins, seorang psikiater Amerika yang membahas hubungan kesadaran manusia, emosi dan spiritualitas. Bahwa perempuan yang hidup di level emosi rendah—seperti malu, takut, marah, atau bersalah—mudah terseret pada pilihan yang merusak. 

Namun, bila ia naik ke level emosi lebih tinggi—seperti keberanian, penerimaan, cinta, dan syukur—perasaannya berubah jadi cahaya yang menumbuhkan kehidupan. 

Karena itu, ada satu tugas penting perempuan setiap hari: membersihkan hati = belajar mengenali diri. 

Dan untuk para ibu yang punya anak perempuan, pelajaran tujuh tahun pertamanya adalah membuatnya bahagia. Bahagia kecil yang ditabung sejak dini akan menjadi bekal ketika kelak ia menghadapi masa-masa paling berat dalam hidupnya. 


Ia bisa rapuh, tapi tidak sampai hancur.

Ia bisa menangis, tapi tidak kehilangan arah.

Ia bisa lelah, tapi tetap memilih hidup.


✍️ Rima Rumata

#akademitrainerofficial #GerakanKontenBaik #SpeakToChange #GrowAndContribute #familyjourney #storyteller #stifingenetikfakfak #stifingenetic #Pengingatdiri






Suami - Istri

Serial keluarga dalam STIFIn  

Pertama, ketika istri mendukung suami. Idealnya begitu. Dalam STIFIn kondisi ini, istri mudah mengalah pada suami. Suami yang mengatur visi misi keluarga. Ini sangat ideal, tetapi jika suami tidak bijak, tidak memberi ruang bagi istri untuk berkembang, potensi istri jadi tidak terasah. Akibatnya, ketika suami tidak ada, baik secara fisik maupun peran, istri kehilangan arah dan menjadi rapuh.

Kedua, ketika suami mendukung istri. Suami mudah mengalah pada istri, bagus dong!, diikuti kemauannya. Namun, jika suami pasif, istri tanpa sadar bisa bertindak sebagai pengatur, bahkan memperlakukan suami seperti anak. Pola ini justru melemahkan fitrah suami sebagai qowwam, pemimpin dan penanggung jawab keluarga.

Intinya, sirkulasi energi rumah tangga akan sehat jika suami dan istri saling mendukung dengan kesadaran fitrah masing-masing. 

Suami tetap memimpin dengan visi, arah, dan keberanian mengambil keputusan, sementara istri mendukung dengan pengasuhan, manajemen emosi, dan penguatan potensi. 

Suami terlalu dominan membuat istri kehilangan potensi, sedangkan istri terlalu dominan membuat suami kehilangan qowwamah. 


✍️ Rima Rumata

#familyjourney #storyteller #stifingenetikfakfak #stifingenetic #Pengingatdiri #bagicerita



Luka Perempuan Masa Kini

Luka Perempuan Masa Kini

Pernah lihat kalimat ini ?“Nyawa perempuan itu ada di pendidikan dan kariernya, selama memilikinya kamu tidak akan takut kehilangan apa pun.”

Kalimat ini terdengar kuat, menginspirasi, bahkan membebaskan.Tapi jika dilihat lebih dalam, ada luka yang belum disembuhkan.

Iya, perempuan masa kini menyaksikan bagaimana suami bisa pergi tanpa tanggung jawab, bagaimana janji yang diikrarkan berubah menjadi beban, dan bagaimana cinta yang dulu, justru membuat jiwa tergerus.

Maka wajar jika banyak perempuan memilih menaruh “nyawanya” pada pendidikan dan karier. Karena di sanalah perempuan bisa mengandalkan diri sendiri, bukan tidak butuh laki-laki, tapi karena terlalu sering kecewa.

Namun jika kita gali lebih dalam, bukan pendidikan atau karier yang sebenarnya menjadi “nyawa” perempuan, melainkan kesadaran akan siapa dirinya dan dari mana sumber kekuatannya berasal.

Karena pendidikan tanpa kesadaran hanya melahirkan kebanggaan kosong, dan karier tanpa kedewasaan hanya menutupi luka yang belum selesai.

Karena baik laki-laki maupun perempuan, menuntut ilmu yang tinggi dan memiliki karier yang baik seharusnya menjadi amal sholeh, bukan sekedar mode bertahan hidup. Ilmu akan mengangkat derajat, dan karier menumbuhkan kehidupan, bukan menjauhkan dari fitrah.

Ini tips berdamai dengan luka dari STIFIn dan setiap orang berbeda. 

Thinking, belajar memahami luka. Belajar dari peristiwa, memperbaiki cara berpikir, dan bangkit lebih kuat dengan logika yang jernih.

Feeling, belajar memaafkan. Belajar menerima perasaan, mengikhlaskan, dan menjadi lebih hangat karena tahu rasanya sakit.

Intuiting, belajar memaknai luka. Belajar mencari pesan Allah di baliknya, menjadikannya jalan untuk  arah hidup

Sensing, belajar bergerak lewat luka. tetap melangkah, bekerja, melayani, dan lewat kesibukan itu perlahan hati sembuh.

Insting, belajar menerima luka. Belajar berdamai dan tenang karena percaya semua sudah diatur dengan seimbang.


✍️ Rima Rumata

#familyjourney #storyteller #stifingenetikfakfak #stifingenetic #Pengingatdiri #bagicerita




Bahagia Menjadi Ibu

 Bahagia Menjadi Ibu

Temanku memulai materi kesehatan mental perempuan dengan tema "Bahagia Menjadi Ibu". Ia membuka dengan satu pertanyaan sederhana, “Apa kabar teman-teman? Apakah kalian bahagia menjadi ibu?”

Lucunya, ada yang berkata pelan, “Sedikit bahagia…”

Mendengar itu, kami tertawa bersama, bukan karena mengejek, tapi karena kami tahu, di balik jawaban itu, ada kejujuran yang lembut. Kejujuran dari seorang ibu yang sedang berproses memahami dirinya. Ada perjuangan yang tak terlihat karena setiap perempuan punya cerita sendiri tentang menjadi ibu.

Dan yang menyentuh hatiku adalah temanku yang membawakan materi.

Enam tahun ia menunggu kehadiran seorang anak. Enam tahun yang dipenuhi doa, air mata, dan harapan yang tak pernah padam.

Dan ketika akhirnya Allah menitipkan amanah itu,  saya melihat sesuatu yang berbeda dari dirinya.

Ada cahaya lembut di matanya, binar yang tenang tapi penuh makna.

Binar seorang ibu yang pernah tahu rasanya hampa, lalu kini tahu betapa berharganya sebuah kehadiran kecil di pelukannya.

Dari matanya saya belajar,bahagia menjadi ibu bukan hanya tentang tawa anak-anak yang memenuhi rumah, tapi tentang rasa syukur yang tumbuh dari penantian panjang.

Tentang menerima setiap bab kehidupan baik yang cepat datang maupun yang lama tertunda sebagai bagian dari kasih Allah yang mendidik hati kita.

Hari itu saya benar-benar mengerti,menjadi ibu bukan hanya soal melahirkan anak, tapi juga melahirkan versi baru dari diri kita sendiri.

Dan mungkin, salah satu makna terdalam dari bahagia menjadi ibu, saat kita akhirnya pulang kepada diri sendiri dan menemukan Allah di sana.


✍️ Rima Rumata

#familyjourney #storyteller #stifingenetikfakfak #stifingenetic #Pengingatdiri #bagicerita




TABUNGAN MASA KECIL

Dulu, pengasuhan kita keras atau yang sering disebut parenting ala VOC, Kita pikir itulah cara paling efektif membuat anak patuh. Kita meras...