Saya menyebut perempuan, karena sebelum ia menjadi seorang ibu, ia terlebih dahulu adalah seorang perempuan dengan perjalanan hidupnya sendiri.
Kita sering membaca berita memilukan:
• Ada perempuan muda yang membuang bayinya sesaat setelah melahirkan.
• Ada yang mengakhiri hidup bersama anak-anaknya karena suami tak bertanggung jawab.
• Ada pula yang menghantam anaknya karena jengkel pada suami.
Inilah paradoks perempuan. Allah lebihkan ia dalam perasaan. Perasaan bisa jadi sumber kekuatan, tapi juga bisa berubah jadi kelemahan.
Ketika hati perempuan terluka, ia bisa kehilangan kebijaksanaan. Energi yang seharusnya mengasuh justru berubah menjadi luka bagi orang lain.
David Hawkins, seorang psikiater Amerika yang membahas hubungan kesadaran manusia, emosi dan spiritualitas. Bahwa perempuan yang hidup di level emosi rendah—seperti malu, takut, marah, atau bersalah—mudah terseret pada pilihan yang merusak.
Namun, bila ia naik ke level emosi lebih tinggi—seperti keberanian, penerimaan, cinta, dan syukur—perasaannya berubah jadi cahaya yang menumbuhkan kehidupan.
Karena itu, ada satu tugas penting perempuan setiap hari: membersihkan hati = belajar mengenali diri.
Dan untuk para ibu yang punya anak perempuan, pelajaran tujuh tahun pertamanya adalah membuatnya bahagia. Bahagia kecil yang ditabung sejak dini akan menjadi bekal ketika kelak ia menghadapi masa-masa paling berat dalam hidupnya.
Ia bisa rapuh, tapi tidak sampai hancur.
Ia bisa menangis, tapi tidak kehilangan arah.
Ia bisa lelah, tapi tetap memilih hidup.
✍️ Rima Rumata
#akademitrainerofficial #GerakanKontenBaik #SpeakToChange #GrowAndContribute #familyjourney #storyteller #stifingenetikfakfak #stifingenetic #Pengingatdiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar