Aneh rasanya, ruang operasi yang biasanya mencekam justru terasa berbeda. Saya bisa menikmati setiap detik suasananya. Percakapan para tenaga medis, bunyi alat-alat yang bekerja. Perasaaanya sangat berbeda dengan kelahiran anak pertamaku, saat ketakutan membuat tensiku melonjak.
Di ruang operasi itu, perutku diguncang, bagian bawah tubuhku mati rasa karena bius, tapi kesadaranku penuh. Saat dr. Arini mengeluarkan bayiku dan memperlihatkannya padaku, ia bertanya pelan, “Masih mau, Rim?”
Tanpa ragu, saya mengangguk. Masih mau.
Namun setelah obat bius hilang, sakit itu datang. Seakan ada pisau yang mengiris perlahan dagingku. Bahkan sampai sekarang, rasa itu masih tertinggal. Perih, sakit rasanya.
Pertanyaan dokter itu pun berulang kali terngiang, seakan mengajak merenung lebih dalam.
Sejak itu, setiap kali melihat bayi, bahkan bayi hewan. Apalagi mendengar berita bayi yang dibuang, dadaku selalu sesak. Tak ada yang lebih memilukan daripada seorang anak yang tidak diinginkan, hanya karena orang tuanya mengaku belum siap.
Padahal, di dalam kandungan, setiap bayi tidak pernah sekalipun berniat merepotkan. Bahkan secara fitrah, bayi itu “meminta maaf” pada ibunya, ia menghisap nutrisi, mengambil energi, membuat tubuh berubah, menimbulkan mual, nyeri, hingga air mata. Seakan ia berbisik, “Maaf ya, Bu, aku numpang hidup, aku janji kelak akan jadi kebahagiaanmu.”
Tapi betapa ironis zaman sekarang saat sebagian orang dengan mudah membuang bayi yang sudah begitu lembut memohon sejak dalam rahim.
Kesiapan itu bukan sekadar soal uang, tapi soal hati dan tanggung jawab. Kalau belum siap, seharusnya berani menjaga, bukan nafsu sesaat mengorbankan luka seorang anak seumur hidup. Perih, sakit rasanya.
✍️ Rima Rumata
#akademitrainerofficial#GerakanKontenBaik #akademitrainer #SpeakToChange #GrowAndContribute #familyjourney #storyteller #stifingenetikfakfak #stifingenetic #Pengingatdiri

Tidak ada komentar:
Posting Komentar